Pergolakan politik nasional dalam suhu hangat, cenderung memanas mendekati pesta rakyat dalam ritual demokrasi yang diselenggarakan tiap-tiap lima tahun sekali (baca: Pemilu). Dewasa kini, perjuangan politik telah dekat pada titik balik penemuan essensi. Bias citra politik mulai tergerus teratur. Politisi dan partai politik mulai memikirkan reputasi sebagai konversi nilai citra politik. Reputasi salah satu cara terbangun melalui CSR Politik.

Penilaian awam terkait istilah Corporate Sosial Responsibility (CSR) tidak sesuai dan terkesan memaksakan untuk dikaitkan dalam ranah politik. Boleh jadi, benar adanya ini merupakan pemaksaan istilah. CSR selama ini dipahami sebagai bagian dari pertanggung-jawaban sosial oleh korporasi komersil. Bukan pada politik.

Hanya saja, kiprah politik terhadap isu kerakyatan semakin hari semakin sering terdengar, tetapi tanpa realisasi memadai. Undang-undang terkait yang mengatur bagaimana mestinya partai politik membangun peradaban bangsa, kemandirian rakyat skala Nasional, dan menjamin terjadinya representasi kepentingan rakyat semakin bias dan kabur. Untuk itu, wacana adanya dorongan CSR Politik menjadi penting sebagai pembaharuan dalam etika politik Indonesia.

Persoalan elitisi yang menelan banyak ruang dan waktu seolah menjadi hidangan getir yang mau tidak mau, suka atau tidak, harus di terima rakyat secara keseluruhan tanpa sparasi golongan. Ini faktual, terjadi di berbagai wilayah negeri. Rakyat hanya berfungsi sebagai mesin penggerak pemilu, itupun sebatas pemilih (voters), tidak lebih. Kenapa bisa terjadi? Karena selama ini hal klasik masih menguasai politisi negeri ini, yakni bermain di wilayah citra, bukan reputasi.

Dalam pandangan singkat ini, penulis tidak bermaksud menghakimi bahwa partai politik tidak berpihak pada rakyat. Sebagai contoh, tentu beberapa partai layak mendapat pujian dan apresiasi karena mencanangkan program kasat mata yang berpihak pada rakyat. Sebut saja Golkar dengan program ekonominya, PAN dengan program serupa, Gerindra, dan juga partai lainnya. Terlepas motifasi yang melatari adalah mendapat simpati konstituen, tetapi perlu di ingat itu berdampak baik.

Realitas Citra Politik

Misalnya saja penggiat Corporate Social Responsibility (CSR) mendapat undangan penganugerahan sebagai para pahlawan lingkungan (green heroes), juga di dalamnya terdapat penghargaan bagi instansi pendidikan, perusahaan-perusahaan skala besar, dan bahkan institusi negara seperti Kantor Kementerian.

Singkatnya, penghargaan itu diberikan kepada pelaku CSR terbaik dalam soal penghijauan, untuk itu acara tersebut diberi nama CSR Green Award. Akan tetapi, ada acara seperti ini yang programnya persis sama dengan penyelenggara yang sama juga, membincang CSR, dan berulang kali memperoleh penghargaan, faktanya ada kesalahan tafsir mengenai CSR. Dalam praktiknya tidak lebih dari sekedar charity, program amal.

Realitas yang harus di bangun adalah bahwasanya kegiatan CSR merupakan tindakan berkelanjutan, usaha untuk kemandirian masyarakat melalui berbagai isu kehidupan, tidak saja lingkungan, tetapi juga ekonomi. Indonesia, sangat mungkin menjadi Negara berkembang yang mandiri. Boleh saja sebagian bidang kita tertinggal, tetapi dalam konteks kemandirian ekonomi rakyat kita harus maju. Politik, seyogyanya sebagai ranah kontrol kehidupan Negara yang teratur. Sehingga dapat di pahami jika keberadaan politik sewajarnya menjadikan Negara lebih tertib (politic as rules), seluruh rakyat terakomodasi disegala kebutuhan.

Politik, kaitannya partai politik dan politisi. kehadiran partai politik bukan hanya pada saat pemilihan umum semata. Tetapi, parpol memiliki kebutuhan untuk eksis dalam jangka panjang, sehingga diperlukan srategi membangun reputasi, ukan citra, setidaknya mirip dengan perusahaan. Partai melakukan tanggung jawab sosial, anggap saja partai politik membangun sebuah komunitas ekonomi, koperasi masyarakat, bagi masyarakat akan memudahkan mereka untuk mengembangkan ekonomi skala kecil menengah, bagi parpol, akan mendapat sokongan suara di berbagai kegiata, baik itu saat pemilu maupun di luar pemilu.

Kembali pada kegiatan penghargaan CSR. Sejauh ini, belum ada penghargaan CSR yang bertema keberhasilan pemberdayaan masyarakat di lingkungan perusahaan, atau minimal membuat masyarakat lebih mandiri dan lebih sejahtera dibanding sebelum adanya perusahaan yang berdiri di sekitar. Ini dalam konteks perusahaan yang memiliki kewajiban, sehingga perlu diwacanakan untuk politik melakukan hal yang sama namun lebih praktis.

Sejauh ini, program CSR yang sering dilakukan hanya sebagian kecil yang menghasilkan reputasi, selebihnya hanya citra. Kenapa bisa begitu, apakah CSR hanya ritual kosong membangun citra? Atau lebih ekstrim adanya politisasi CSR.

Yang perlu dipahami adalah, menghindari penyalahgunaan dana tanggung jawab sosial perusahaan (coorporate social responsibility/CSR) dalam politik negara/ pribadi/ parpol/ Pemilu 2014. Karena pada dasarnya program CSR berprinsip pada kerakyatan, yaitu pemanfaatan dana untuk meningkatkan/ membantu masyarakat. (Source: http://inspirasi.co/forum/)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here