Jakarta, SAWITINDONESIA – Kegiatan Corporate Social responsibility (CSR) di Indonesia masih menghadapi beragam kendala di lapangan. Salah satunya, tidak adanya rancangan induk (master-plan) mengenai CSR yang berasal dari akibatnya peran pemerintah seringkali kontra produktif.
Dalam hal ini, seharusnya pemerintah lebih aktif memosisikan diri sebagai fasilitator supaya kegiatan CSR perusahaan dapat berjalan lebih efektif.
Suwandi, Dokter Lulusan CSR Pertama lulusan perguruan tinggi di Indonesia, menyebutkan Kunci kinerja CSR terletak pada komitmen perusahaan. “Karena itu, harus ada stimulus dan dorongan agar perusahaan-perusahaan memiliki komitmen yang besar untuk menjalankan kegiatan dan program CSR. Tanpa itu, program CSR tidak akan bisa efektif,” kata Suwandi yang baru saja meraih gelar Doktor-nya usai ujian mempertahankan desertasinya di depan tim penguji Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, Sabtu (21/12) lalu. Suwandi kini tercatat sebagai doktor CSR pertama lulusan perguruan tinggi di Indonesia.
Bertindak sebagai tim penguji adalah Prof Dr Gunawan Sumodiningrat M.Ec, Dr Anna Marie Wattie MA, Prof Dr Ir Sunarru Samsi Hariadi MS, Dr Agus Heruanto Hadna, Dr Roberto Akyuwen SE STP Msi, Dr Ely Susanto SIP MBA, dengan promotor Prof Dr Yeremias T Keban MRRP dan Prof Dr Ir Edhi Martono MSc.
Suwandi yang juga Ketua Umum Umum Corporate Forum for Community Development (CFCD), melakukan penelitian mendalam terhadap pelaksanaan program CSR di PT Bakrie Sumatera Plantations Tbk, salah satu industri perkebunan kelapa sawit dan karet terkemuka di Indonesia. Dirinya menjelaskan pelaksanaan program-program CSR di perusahaan pada kenyataannya menghadapi banyak persoalan.
“Responden dalam penelitian yang saya lakukan, mengakui hal itu. Anggaran terbatas, pelaksanaan yang belum merata, pelaksanaan yang belum terjadwal, lemahnya sosialisasi dan komunikasi,dan banyak lagi,” ujarnya dalam rilis yang diterima SAWIT INDONESIA.
Menurutnya, jangkauan pelaksanaan program CSR di Indonesia belum merata. Sebab, CSR ini belum dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat yang dilakukan hanya untuk tujuan pihak-pihak tertentu saja dan tidak bersifat berkelanjutan.
Fakta lain lagi, pelaksanaan CSR yang berpola kemitraan tidak dilakukan secara baik sejak awal. “Akibatnya, pengambilan keputusan-keputusan penting dalam rangka pelaksanaan program tersebut sering dilakukan secara sepihak oleh perusahaan, tanpa melibatkan petani plasma,” kata Suwandi.
Setelah dinyatakan lulus sebagai doktor, Suwandi memaparkan pula dampak positif program CSR terhadap reputasi perusahaan. Program CSR, menurut dia, secara langsung memberikan pengaruh yang sangat baik terhadap reputasi perusahaan.
“Prioritas program CSR relatif berbeda antara satu perusahaan dengan perusahaan lainnya. Perusahaan yang mengeksploitasi sumber daya alam, misalnya, menempatkan masyarakat dan lingkungan selaku pemangku kepentingan prioritas. Sementara produsen barang-barang konsumsi memperlakukan pelanggan sebagai prioritas,” ujarnya.
Reputasi perusahaan, menurut Suwandi, menjadi aspek sangat penting dan terkait dengan kinerja tanggung jawab sosial. Substansi ini telah diteliti oleh beberapa pakar yang menyimpulkan bahwa praktek CSR yang baik akan menghasilkan manfaat yang tidak tampak seperti reputasi, komitmen dan pembelajaran serta manfaat-manfaat yang tak tampak lainnya, misalnya efisiensi biaya operasional perusahaan. “Ini sekaligus membuktikan bahwa CSR itu bukan filantropi, bukan sekadar kedermawanan,” pungkas Suwandi.
Source: www.sawitindonesia.com