Berbicara tentang Corporate Social Responsibilty (CSR), sesungguhnya kita seakan sedang berbicara semacam benang penghubung antara dunia bisnis dan sosial yang terkadang luput dari perhatian kita. Ketika bicara bisnis, para pebisnis kerap kali lupa bahwa mereka juga harus membawa nilai-nilai sosial. Sebaliknya, pelaku di dunia sosial seringkali lupa untuk bersikap profesional sehingga tak hanya dapat dipercaya pemberi dana atau penyumbang, melainkan juga bekerja secara efisien dan bagus.
Pengertian CSR sendiri sangat beragam. Intinya, CSR adalah operasi bisnis yang berkomitmen tidak hanya untuk meningkatkan keuntungan perusahaan secara finansial, melainkan pula untuk pembangunan sosial-ekonomi kawasan secara holistik, melembaga dan berkelanjutan. Beberapa nama lain yang memiliki kemiripan dan bahkan sering diidentikkan dengan CSR adalah corporate giving, corporate philanthropy, corporate community relations, dan community development. Ditinjau dari motivasinya, keempat nama itu bisa dimaknai sebagai dimensi atau pendekatan CSR. Jika corporate giving bermotif amal atau charity, corporate philanthropy bermotif kemanusiaan, dan corporate community relations bernafaskan tebar pesona, maka community development lebih bernuansa pemberdayaan.
Perkembangan dunia bisnis kini menarik untuk disimak, bagaimana posisi social marketing dan cara pandang praktisi bisnis dan marketing bisnis. Hermawan Kertajaya memaparkan bahwa pemasaran sosial termasuk dalam salah satu pilihan bagi pebisnis atau perusahaan untuk berbuat baik. Di dunia bisnis kini perusahaan dinilai “besar” oleh capital market dan publik apabila melakukan kebaikan demi kemanusiaan.” Sebagaimana dituangkan Kotler bersama rekannya Nancy Lee dalam bukunya “Corporate Social Responsibilty”, dengan istilah “Doing Great by Doing Good“. Dalam buku ini juga memuat semacam kerangka kerja (framework) yang disebut “doing great by doing good“. Lebih rinci, ada 6 pilihan untuk berbuat baik (6 Option of Doing Good). Yaitu, cause promotions, cause related marketing, social marketing, corporate philantropy, community volunteering.
Kini di berbagai belahan dunia, perusahaan-perusahaan besar seolah berlomba melaksanakan Corporate Social Responsibilty (CSR). Yaitu, semacam program kegiatan yang sifatnya sukarela dan bukan bertujuan komersil dengan menyisihkan sejumlah dana untuk kemanusiaan dan kemasyarakatan. Ini ada berkaitan erat dengan kebijakan pajak di negara barat. Ada semacam kebijakan pajak kepada perusahaan apabila menyisihkan dana untuk kegiatan sosial kemasyarakat berupa potongan pajak. Melalui kebijakan ini, perusahaan memperoleh insentif pajak sekaligus memperoleh keuntungan lain berupa penilaian positif dari pasar dan juga publik.
Dalam konteks pemberdayaan, CSR merupakan bagian dari policy perusahaan yang dijalankan secara profesional dan melembaga. CSR kemudian identik dengan CSP (corporate social policy), yakni strategi dan roadmap perusahaan yang mengintegrasikan tanggung jawab ekonomis korporasi dengan tanggung jawab legal, etis, dan sosial. Dalam literatur pekerjaan sosial (social work), CSR termasuk dalam gugus Pekerjaan Sosial Industri, industrial social work atau occupational social work. Pekerjaan Sosial Industri mencakup pelayanan sosial internal dan eksternal.
Pengembangan sumberdaya manusia, pelayanan konseling, terapi sosial, dan jaminan sosial bagi pegawai serta keluarganya adalah beberapa bentuk pelayanan sosial internal. CSR yang di dalamnya mencakup penerapan ComDev, pengembangan program sosial, dan advokasi sosial merupakan strategi pelayanan sosial yang bermatra eksternal.
Kini, telah beragam cara dilakukan perusahaan untuk menjalankan CSR. Ada perusahaan yang melaksanakan CSR sendiri, mulai dari perencanaan hingga implementasinya. Ada pula perusahaan yang mendirikan yayasan, bermitra dengan pihak lain atau bergabung dalam konsorsium. Model mana yang dipilih sangat tergantung pada visi dan misi perusahaan, sumberdaya yang dimiliki, serta tuntutan eksternal (misalnya kondisi masyarakat lokal, tekanan pemerintah atau LSM).
Idealnya memang sebuah perusahaan perlu dengan cermat memastikan bagaimana pola dan metode yang akan dilakukannya bisa sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Terutama dalam konteks ini bila menyangkut hal yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat. Ada baiknya memang, perusahaan yang ingin mengimplementasikan CSR mereka bisa mengajak pihak lain untuk melakukan agenda ini. Pihak lain ini setidaknya merupakan para professional dalam hal implementasi program CSR yang biasanya selama ini mereka berorientasi non profit.
Dengan menggandeng pihak profesional, perusahaan bisa fokus pada pengawasan program serta evaluasinya. Dengan fokus pada evaluasi yang ada, perusahaan bisa dengan cepat mengambil keputusan, apakah dinilai berhasil atau gagal. Dengan demikian para pengambil kebijakan akan dengan mudah dan cepat pula mengambil kebijakan programnya akan diperbesar skalanya atau malah dihentikan sama sekali. (http://ekonomi.kompasiana.com)